Labels

Diberdayakan oleh Blogger.
Selamat Datang di Blog Peusangan Online, Kami Menyajikan Berita Aktual dari Situs Terpecaya dan Lengkap..!
Tampilkan postingan dengan label Ulama Aceh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ulama Aceh. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 November 2013

Abu Kuta Krueng Ulama Kharismatik Aceh



Tgk H Usman bin Tgk Ali. yang lebih dikenal Abu Kuta Krueng lahir di Kuta Krueng Pidie Jaya pada tanggal 31 Desember 1940. Setelah menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR) Beliau langsung menggeluti pengetahuan Islam di Dayah Ma�hadal Ulum Diniyyah Islamyyah (MUDI) Mesra Samalanga � Bireuen, semasa mengaji di Dayah MUDI Mesra Samalanga telah nampak terlihat kepribadian seorang ulama, mulai dari sifat, karakter hingga kemampuan menyerap berbagai ilmu pengetahuan dengan cepat.

Sebagai seorang murid, Tgk H Usman selalu menghormati gurunya, hingga ilmu yang beliau peroleh-pun mengandung keberkatan (bermanfaat), karena dalam keyakinan aneuk dayah memuliakan dan menghormati guru merupakan salah satu factor keberkatan pada ilmu. Dan hal ini dipraktekkan dalam keseharian Tgk H Usman, walhasil sepulang dari dayah MUDI Mesra Samalanga beliau mendirikan Dayah Darul Munawwar di Kuta Krueng, Bandar Dua yang dulunya tunduk ke kabupaten Pidie, namun sekarang masuk wilayah kabupaten Pidie Jaya setelah pemekaran pada tahun 2007 lalu.

Kehadiran Tgk H Usman yang akrab disapa Abu Kuta Kruengdalam kancah pendidikan di Aceh telah menoreh catatan sejarah Aceh sebagai bumi seribu dayah dan satu lagi bertambah lampu penerang di bumi Serambi Mekkah. Hari ini Abu Kuta dipandang sebagai seorang tokoh ulama karismatik Aceh yang selalu dihormati dan menjadi kebanggaan orang Aceh.

Sumber : Dayah Darul Munawwar

Kamis, 31 Oktober 2013

Abuya Syaikh H. Muhammad Muda Waly al-Khalidy an-Naqsyabandy (2)

Pulang ke Aceh

Setelah Syaikh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah s.w.t., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat Ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan Pesantren di tempat beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan Pesantren di desa beliau sendiri.

Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji. Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.

Lahan tempat mendirikan Musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke Surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya, yang dalam istilah Aceh disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji dan dari Kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai Propinsi di Pulau Sumatra.

Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut :

Pertama : Darul-Muttaqin, di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal

Kedua : Darul `Arifin, dilokai ini bertempat tinggal guru guru yang sebagian besar sudah berumah tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia

Ketiga : Darul Muta`allimin, di tempat ini tinggal para santri pilihan diantaranya anak Syaikh Abdul ghani Al kampari, guru tasauf Syaikh muda Waly .

Keempat : Darus Salikin, dilokasi ini banyak asrama-asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.

Kelima : Darul zahidin, lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini. Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh, maka jarang sekali santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .

Keenam : Darul Ma`la, lakasi ini merupakan lokasi nomor satu karena tanahnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan .

Semua lokasi ini dinamakan oleh Syaikh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba-hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba-hamba yang Zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba-hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat .

Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari Desa Pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di Ibukota Kecamatan. Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus, pelajarnya juga tidak banyak, para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum yang berfaham wahabi sehingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatan yang diadakan para pelajar membahas masalah-masalah khilafiyah dengan dalil-dalilnya menurut pendirian ulama Ahlussunnah wal Jama�ah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalangan Muhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syaikh Muda Waly, namun semuanya dapat di jawab oleh Syaikh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.



Pendidikan Pesantren Darussalam

Di pesantren yang beliau bangun itu Syaikh Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama. Khusus untuk kaum ibu pada hari malam selasa, hari senin, dan malam senin. Pada malam senin kaum ibu mendapat ceramah agama dari guru-guru yang telah ditetapkan oleh beliau. Sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur, setelah pengajian subuh, semua kaum ibu-ibu yang bermalam di pesantren ikut membangaun Pesantren dengan menimbun sebagian lokasi Pesantren yang belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu hal yang aneh dan luar biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut ke pantai dan batu-batu itu semuanya berwarna putih bersih. Batu-batu ini hanya terdapat di pantai yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur para ibu-ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan oleh Syaikh Muda Waly yang kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalam tariqat Naqsyabandiyah dan shalat Ashar. Sedangkan waktu untuk kaum laki-laki adalah pada selasa malam mulai maghrib hingga larut malam.

Pada setiap bulan Ramadan Syaikh Muda Waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai raya Idul Fitri. Ada yang berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20 hari. Selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam bulam Rabiul awal selama 10 hari. Demikian juga pada bulan Zulhijjah selama 10 hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.

Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oelh Syaikh Muda Waly terbagi kepada dua :

Pertama : sistem qadim, yakni sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para Ulama sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya kitab-kitab yang dipelajari mesti khatam. Guru hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di dalamnya. Menurut beliau sitem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat hanyalah jalan yang disorot oleh lamu bus saja, walaupun perjalanannya panjang dan banyak yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja, sedangakan dikiri kanannya kita tidak melihatnya .

Kedua : sistem madrasah. Pada sitem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis. Pada sitem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab, tetapi harus banyak diskusi untuk pendalaman. Sebagai contoh, apabila pelajaran Fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah al-Muhtaj Syarah Minhajul Thalibin, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan dalil-dalilnya baik dari Al Qur an, Hadits ataupun disiplin ilmu lainnya. Ini memang memakan waktu yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sistem ini maka akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sitem ini sangat menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari berbagai daerah.

Syaikh Muda Waly mengamalkan ilmunya dengan luar biasa. Pukul 6.00 pagi beliau mengajar semua santri muali dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Disini terbuka pintu bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang lafaz yang beliau baca. Pukul 9.00 pagi setelah sarapan dan Shalat Dhuha belaiu menagjar pada tingkat yang lebih tinggi, yang terdiri dari para dewan guru. Kitab yang dibaca adalah Tuhfah al-Muhtaj, Jam`ul Jawami` dan kitab besar lainnya samapai waktu ashar. Sesudah Asar beliau juga menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau. Syaikh Muda Waly sangat disiplin dalam mengajar sehingga dalam kondisi sakitpun beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat beliau sakit, para murid beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan penjelasan dari beliau. Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid beliau tidak mendebat beliau. Pertanyaan dan debatan dari murid-murid beliau rupanya menjadi obat yang sangat mujarab bagi beliau. Tetapi beberapa saat setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit. Ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam mendidik muridnya telah membuahkan hasil yang luar biasa, sehingga dari beliau lahirlah puluhan Ulama-ulama yang menjadi benteng Ahlussunnah di Aceh dan sekitarnya. Hampir seluruh pesantren di Aceh sekarang ini mempunyai pertalian keilmuan dengan beliau dan dari murid-murid beliau lahir pulalah Ulama-ulama terpandang dalam masyarakat. Dengan adanya perjuangan beliau perkembangan faham wahabi dan ide pembaruan terhadap ajaran islam yang telah menjalar ke sebagian tokoh-tokoh di Aceh dapat ditekan. Beliau sangat istiqamah dengan faham Ahlussunnah dan mazhab Syafi�i.


Murid-murid Beliau :

1.      al-Marhum Tgk. H. Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireuen.
2.      al-Marhum Tgk. H. Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan Pesantren LPI MUDI Mesra (Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya) Samalanga, Bireuen.
3.      al-Marhum Tgk. H. Muhammad Amin Arbiy Tanjongan, Samalanga, Bireuen.
4.      Tgk. H. Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan Pesantren al-Madinatut Diniyah Babussalam, Blang Bladeh, Bireuen.
5.      Teungku H. Daud Zamzamy. Aceh Besar.
6.      al-Marhum Tgk. H. Syaikh Syihabuddin Syah (Abu Keumala) pimpinan Pesantren Safinatussalamah, Medan.
7.      Teungku Adnan Mahmud pendiri Pesantren Ashabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan.
8.      al-Marhum. Tgk. H. Syaikh Marhaban Krueng Kalee (putra Syaikh H. Hasan Krueng kale) mantan Menteri Muda era Sukarno.
9.      al-MarhumTgk. H. Muhammad Isa Peudada, Bireuen.
10.  al-Marhum Tgk. H. Ja`far Shiddiq, Kuta Cane.
11.  al-Marhum Tgk. H. Abu Bakar sabil, Meulaboh, Aceh Barat.
12.  al-Marhum Tgk. H. Usman fauzi, Cot Iri, Aceh Besar.
13.  Abuya Prof. H. Muhibbuddin Waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
14.  al-Marhum Syaikh Jailani.
15.  al-Marhum Syaikh Labai Sati, Padang Panjang.
16.  al-Marhum Tgk. H. Qamaruddin, Teunom, Aceh Barat.
17.  Tgk. H. Syaikh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara.
18.  Tgk. H. Syaikh Ahmad Blang Nibong, Aceh Utara.
19.  Tgk. H. Syaikh Abbas Parembeu, Aceh Barat.
20.  Tgk. H. Syaikh Muhahammad Daud, Gayo.
21.  Tgk. H. Syaikh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie.
22.  Tgk. H. Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
23.  Tuanku H. Idrus, Batu Basurek, Bangkinang.
24.  al-Marhum Tgk. H. Syaikh Amin Umar, Panton labu. Aceh Utara.
25.  Syaikh H. Nawawi Harahap, Tapanuli.
26.  al-Marhum Tgk. H. Syaikh Usman Basyah, Langsa.
27.  Tgk. H. Syaikh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara.
28.  Tgk. H. Syaikh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat
Dan lain lain banyak lagi.


Karya Beliau

1.      al-Fatwa, Sebuah kitab dalam bahasa Indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa beliau mengenai berbagai macam permasalahan agama.
2.      Tanwirul anwar, berisi masalah masalah aqidah.
3.      Risalah Adab Zikir Ismuz Zat.
4.      Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i`tidaq.
5.      Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid
Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang perdebatan Syaikh Ahmad Khatib dengan Syaikh Sa`ad Mungka, beliau menyebutkan :
�Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah wal Jamah, bahwasanya karangan yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syaikh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syaikh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syaikh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syaikh Ahmad al-Khatib. Karena itu maka hamba yang faqir ini, Syaikh Muhammad waly al-Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syaikh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syaikh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua Ulama itu sifatnya soal-jawab dan debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syaikh Ahmad Khatib itu murid Sayyid Syaikh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syaikh As`ad Mungkar murid Mufti az-Zawawy, gurunya Syaikh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syaikh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as-Saiful Maslul karangan Ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid-muridku yang melihat karanagn Syaikh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.�
Syaikh Muda Waly bukan hanya berperan dalam menyebarkan ilmu agama saja. Tapi beliau memiliki andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Republik Indonesia. Dalam mempertahankan proklamasi 17 agustus 1945 para ulama Aceh tampil kedepan dengan mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah dan mendirikan barisan barisan perjuangan. Pada tanggal 18 Zulqa`dah 1364 Teungku Syaikh Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa dengan menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dan berperang menetang musuh-musuh Allah adalah suatu kewajiban dan apabila mati dalam peperangan itu akan mendapat pahala syahid. Disamping itu juga diterangkan pula hendaklah ummat islam mengorbankan jiwa dan harta untuk menolong agama Allah dan menolong negara yang sah. Fatwa itu disebarkan luas ke seluruh Aceh melalui pemuda-pemuda Aceh yang tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Pemuda Republic Indonesia.

Berdasarkan itu Syaikh Muda Waly di Labuhan Haji memperkuat fatwa tersebut melalui pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah umum. Bahkan beliau menjabat sebagai pimpinan tertinggi dalam bariasan Hizbullah, meskipun dalam pelaksanaannya banyak diserahkan kepada keponakannya yang juga merupakan seorang Ulama muda yang kemudian menjadi menantu beliau. Di samping itu PERTI yang dipimpin oleh Nya` Diwan telah membawa satu barisan perjuanagan dari Sumatra Barat yang disebut Lasymi (Laskar Muslimin Indonesia). Antara kedua laskar ini saling mengisi demi memperjuangkan Ahlussunnah dan mempertahankan kedaulatan Negara dari tangan penjajah..


Peristiwa Berdarah di Aceh

Dalam mempertahankan keutuhan negara Indonesia beliau juga memiliki peran ynag sangat penting. Pada tanggal 13 Muharram 1373 / 21 september 1953 meletuslah peristwa berdarah di Aceh yaitu peristiwa DI/TII yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Bereueh, mantan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo dan mantan Gubernur Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin utama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Syaikh Muda Waly tidak bergabung dalam PUSA karena sebagian besar ulama ynag bergabung dalam PUSA telah terpengaruh dengan ide pembaruan dalam Islam dari Minangkabau.

Dalam hal ini para Ulama besar di Aceh yang terdiri dari Kaum Tua antara lain Syaikh Muda waly, Syaikh Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdul Salam Meuraksa, Teungku Saleh Mesigit Raya dan Ulama lainnya tidak mendukung gerakan ini, karena mereka mengetahui bahwa latar belakang kejadian ini bukanlah hal yang dikaitkan dengan agama tetapi hanyalah hal yang dikaitkan dengan dunia semata. oleh karena itu para Ulama tersebut mengeluarkan fatwa mengutuk pemberontakan tersebut atas nama para mereka. Tetapi karena semua ulama tersebut berada dalam PERTI maka penonjolannya lebih terlihat atas nama PERTI. Teungku Syaikh Muda Waly pada tanggal 18 November 1959 dalam suatu rapat umum di Labuhan Haji mengharamkan pemberontakan tersebut dan beliau menyatakan siap memberi bantuan menurut kesanggupan beliau. Para Ulama-ulama tersebut sangat menyayangkan kenapa faktor pemberontakan tersebut tidak di musyawarahkan terlebih dahulu dengan para ulama-ulama besar di Aceh. Sehingga segala permasalahan dapat diselesaikan tanpa harus melalui peristiwa berdarah. Karena jasa beliau itu, beliau pernah diundang oleh Presiden Sukarno ke Istana Bogor pada tahun 1957 untuk menghadiri Konferensi Ulama Indonesia untuk memutuskan kedudukan Presiden Sukarno menurut Islam. Dalam konferensi tersebut beliau dan para ulama dari seluruh Indonesia sepakat menyatakan bahwa presiden Sukarno itu Presiden yang sah dengan prediket Wali al-Amri adh-Dharury bisyl Syaukah.


Wafat Beliau

Setelah berjuang demi tegaknya agama ini, akhirnya Syaikh Muda Waly kembali kehadapan Allah pada tanggal 11 syawal 1381 / 20 maret 1961 tepat pukul 15.30 WIB hari selasa. Jenazah beliau di shalatkan oleh Ulama dan murid-murid beliau serta masyarakat yang terjangkau kehadirannya ke Dayah Labuhan Haji, karena pada zaman itu kendaraan umum masih sangat minim di Aceh selatan. Beliau dimakamkan dalam komplek Dayah Labuhan Haji yang beliau pimpin. Selanjutnya kepemimpinan Pesantren tersebut dilanjutkan oleh putra-putra beliau secara bergantian antara lain Syaikh Muhibbuddin Waly, Syaikh Jamaluddin Waly, Syaikh Mawardi Waly, Syaikh Nasir Waly, Syaikh Ruslan Waly dan putra-putra beliau lainnya. Hal ini karena hampir semua putra beliau menjadi Ulama-ulama terkemuka. Beliau bukan hanya berhasil dalam mendidik murid-muridnya tetapi juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi Ulama-ulama yang gigih mempertahankan faham Ahlussunnah wal Jamaah. Keberhasilan beliau dapat terlihat dengan jelas, dimana sekarang ini hampir semua pesantren tradisional di Aceh mempunyai silsilah keilmuan dengan beliau. Coba kita lihat beberapa pesantren di Aceh saat ini antara lain :

1.      Pesantren LPI .MUDI MESRA, Samalanga dipimpin oleh Teungku H.Hasanoel Basry(Abu Mudi)murid dari Syaikh Abdul Aziz (murid Syaikh Muda Waly, pimpinan MUDI MESRA sebelumnya)
2.      Pesantren Al Madinatud Diniyah Babusslam Blang Bladeh, Bireun dipimpin oleh Syaikh H.Muhammad Amin Blang Bladeh (murid Syaikh Muda Waly)
3.      Pesantren Malikussaleh Panton Labu Aceh utara, dipimpin oleh Syaikh .H. Ibrahim Bardan (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
4.      Pesantren Darul Huda Lhueng Angen, Lhok Nibong, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Abu Daud(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
5.      Pesantren Darul Munawwarah, Kuta Krueng, Bandar Dua. Pidie Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Usman Kuta Krueng (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
6.      Pesantren Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun, dipimpin oleh Tgk. Muhammad Wali, putra Syaikh Abdullah Hanafiah (murid Syaikh Muda waly dan pimpinan Pesantren tersebut sebelumnya)
7.      Pesantren Raudhatul Ma`arif Cot Trueng Aceh Utara, dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Amin (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
8.      Pesantren Darul Huda, Paloh Gadeng, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Mustafa Ahmad (Abu Mustafa Puteh, murid Syaikh Muhammad Amin Blang Bladeh)
9.      Pesantren Ashhabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan, dipimpin oleh Syaikh Marhaban Adnan (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga, putra Syaikh Adnan Mahmud Bakongan)
10.  Pesantren Ruhul Fata, Seulimum, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. H. Mukhtar Luthfy (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
11.  Pesantren Serambi Makkah, Meulaboh, Aceh Barat, dipimpin oleh Syaikh Muhammad Nasir L.c (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga putra Abuya Syaikh Muda waly)
12.  Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI) Lamno, Aceh Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Asnawi Ramli, sebelumnya dipimpin oleh Tgk. Syaikh Ibrahim Lamno (murid Syaikh Abdul `Aziz, Samalanga)
13.  Yayasan Dayah Ulee Titi, Ulee Titi, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. Syaikh `Athaillah (murid Syaikh Ibrahim Lamno)
Kesemua Pesantren tersebut dan beberapa pesantren lainnya mempunyai pertalian keilmuan dengan Syaikh Muda Waly. Demikianlah manaqib singkat Syaikh Muda Waly yang lebih populer dalam masyarakat Aceh dengan sebutan Abuya Muda Waly, seorang Ulama yang sangat berperan dalam mempertahankan Faham Ahlussunnah dan mazhab Syafii di bumi Aceh. Seorang Ulama besar yang bisa dikatakan sebagai Mujaddid untuk Aceh dan sekitarnya. Semoga Allah menempatkan beliau disisi-Nya yang tinggi dan semoga Allah melahirkan Syaikh Muda Waly lainnya untuk Aceh ini khususnya dan untuk ummat Islam umumnya. Amin ya Rabbal�alamin.

Abuya Syaikh H. Muhammad Muda Waly al-Khalidy an-Naqsyabandy

Kelahiran

Syaikh Muda Waly al Khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Syaikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya, paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Syaikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji. Tak lama setelah Syaikh Muhammad Salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Syaikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syaikh Muhammad salim sangat menyayangi Syaikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Syaikh Muda Waly selalu digendong oleh ayahnya. Mungkin Syaikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Syaikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya.

Nama Syeikh Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammada Waly atau lengkapnya Syaikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.


Perjalanan Pendidikan

Syaikh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh,dan dasar ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren di Ibukota Labuhan Haji, Pesantren Jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun beliau belajar di pesantren al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di Ibukota Kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti Pesantren al-Khairiyah, yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar yaitu Syaikh Mahmud. Di Pesantren Bustanul Huda, barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir dan Mahally dalam ilmu Fiqh, Alfiyah dan Ibn `Aqil dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.

Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan gurunya,Teungku Syaikh Mahmud yaitu perbedaan pendapat antara beliau dengan gurunya tersebut tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat di dalam masjid secara jihar. Syaikh Muda Waly ingin melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah beliau ,Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syaikh Mahmud, meminta do`anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang terpenting meminta maaf atas kelancangan Syaikh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali kali beliau dan ayahnya meminta ma`af kepada Syaikh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya kemaafan beliau dapat setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah. Kejadian ini berawal dari kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang ulama dari kaum muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang bernama Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah dan membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka di Ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan Syaikh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum. Tak lama setelah itu barulah Syaikh Mahmud mema`afkan kesalahan Syaikh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengannya pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.

Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syaikh H. Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau. Apalagi Syaikh H.Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul Huda.

Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syaikh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata �Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie�. Sesampainya di Blang Pidie, Syaikh Muhammad Salim berkata kepada putranya Syaikh Muda Waly �biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong�. Pada kali yang ketiga ini Syaikh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syaikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.

Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh Syaikh H. Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syaikh H. Marhaban, Menteri Muda Pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari, pada saat Syaikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantara kitab yang dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun.Syaikh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terakhir Wa huwa hasbi wa ni`mal wakil. Setelah selesai pengajian Syaikh Muda Waly merasa bahwa syarahan yang diberikan oleh Syaikh Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau miliki. Walaupun demikian beliau tetap menganggap Syaikh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau. Bagi Syaikh Muda Waly cukuplah sebagai bukti kebesaran Syaikh Hasan Krueng Kale, apabila guru beliau Syaikh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Krueng Kale.Syaikh Muda Waly hanya satu hari di Pesantren Krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syaikh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syaikh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu al-Quran masih kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri tersebut dalam simtem belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran, kebetulan ada seorang guru yang membacakan kitab-kitan kuning, Syaikh Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka Ustad tersebut mengajak beliau kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapakan asrama temapat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syaikh Muda Waly sudah habis, maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi memikirkan belanja.

Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syaikh Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat Syaikh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut. Semenjak saat itu Syaikh muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara jam dua malam sampai subuh. Waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya jadwal, beliau kelihatan kurus, tetapi Alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak sakit.

Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang Payoeng kepada Syaikh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan al-Azhar Mesir Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi Syaikh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke al-Azhar Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di al-Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yag telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syaikh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum melanjutkanke al Azhar.
Berangkatlah Syaikh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut.Beliau sama sekali tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam School dan kemana beliau harus singgah. Tiba tiba saja ada seorang penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syaikh Muda Waly selama di kapal bersedia membantu Syaikh Muda Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.

Setelah sampai di Normal Islam beliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan :
1.     Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalm ilmu agama,karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama sperti ulama ulam besar lainnya.Tetapi rupanya ilmu agama yangdiajarkan di normal Islam amat sedikit.Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
2.      Di Normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajrakan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.  

Di Normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan peraturan di lembaga tersebut. Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syaikh Muda Waly, kalau begini lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.

Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `Ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syaikh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke Aceh, tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya.

Pada suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah Surau yaitu di Surau Kampung Jao. Setelah shalat maghrib, kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah. Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan menurut Syaikh Muda Waly tidak tepat, maka beliau membetulkan, sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu.

Akhirnya para jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang ke Surau itu untuk menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari, beliau mulai dikenal dari satu Surau ke Surau yang lain dan dari satu Mesjid ke Mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang Padang, tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat Islam Sumatra Barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau dalam ilmi Fiqh, Tasawwuf, Nahu dan ilmu lainnya. Barulah sejak itu beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh.

Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah- masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat, seperti masalah usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya �Id al-Fitri dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum muda.

Syaikh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran dan pendidikannya, tentu saja berpendirian dalam semua masalah tersebut seperti pendirian para Ulama Aceh sejak zaman dahulu, karena semua Ulama Aceh khususnya dalam bidang Syari�at dan Fiqh Islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi Ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf al-fansuri al-singkili [Syiahkuala], Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain semuanya bermazhab Syafi`i dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari``at dan Fiqh Islam kecuali hanya perbedaan pendapat dalam masalah Tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja.

Karena itulah maka semua masalah-masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syaikh Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan-alasannya, al Qur�an dan Hadist dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota Padang dan mulai dikenal pula oleh seorang Ulama besar di kota Padang, yaitu Syaikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof. Drs. H. Amura. Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-Sunnah wa al-Jama�ah di Padang. Murid dari pada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al- Mukarramah. Beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-Mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertankan `Aqidah Ahli al-Sunnah wa al-Jama`ah dan mazhab Syafi`i di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu Syari`at dan Tariqat yaitu Syeikh Sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka dan Syaikh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syaikh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syaikh Muda Waly dengan seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syaikh Prof. Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syaikh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji Rasul.

Kemudian Syaikh Muda waly juga berkenalan dengan Syaikh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syaikh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syaikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syaikh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa Arab. Di Pesantren Jaho itulah Syaikh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syaikh Muda Waly, pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syaikh Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syaikh Muda Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syaikh Muda Waly. Dari situlah, Syaikh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syaikh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syaikh Muhammada Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi`ah yang akhirnya melahirkan Syaikh H. Mawardi Waly. Syaikh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah. Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat, pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah dan tempat majlis ta`lim.

Apabila datang hari hari besar Islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syaikh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syaikh Hasan Basri, menantu dari Syaikh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syaikh Muda Waly menunaikan ibadah haji ke tanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syaikh Ali Al Maliki, pengarang Hasyiah al - Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab-kitab Hadits dari Syaikh Ali al-Maliki.

Selama di Makkah Syaikh Muda Waly seangkatan dengan Syaikh Yasin Al fadani, seorang ulaam besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al-Mukarramah.

Pada waktu Syaikh Muda Waly berada di Madinah pada setiap saat shalat, beliau selalu menziarahi kuburan yang mulia Saiyidina Rasulullah Saw. Pada waktu itu siapa saja yang menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan dipukul oleh polisi dengan tongkatnya. Tetapi pada saat Syaikh Muda Waly sedang bermunujat dekat makam Rasullualah, beliau didekati oleh polisi, ingin memukul beliau, maka Syaikh Muda Waly langsung berbicara dengan polisi tersebut dengan bahasa arab yang fasih sehingga polisi tersebut tertarik dengan beliau dan membiarkan beliau duduk lama di dekat maqam Rasulullah. Di Madinah Syaikh Muda Waly berdiskusi dengan para ulama ulama dari negeri lain terutama dari Mesir. Beliau tertarik dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Mesir, sehingga beliau sudah bertekat menuju ke Mesir, tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi`ah. Istri beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang ke Indonesia akhirnya beliau urung berangkat ke Mesir.

Selama beliau di Makkah ataupun Madinah beliau tak sempat mengambil ijazah dalam Tahariqat apapun. Hal ini kemungkinan besar karena dua hal :
1.      Karena beliau berada di tanah suci lebih kurang hanya tiga bulan, waktu yang sangat singkat bagi beliau yang mempunyai cita-cita besar untuk menggali ilmu dari berbagai ulama. Sehingga habislah waktu beliau hanya untuk menemui dan berdiskusi dengan para ulama lainnya.
2.      Pada umumnya para pelajar yang datang ke Tanah suci untuk mengamalkan thariqat, mengambil ijazah dan berkhalwat harus berada di tanah suci pada bulan Ramadan. Karena pada bualn Ramadan halaqah pengajian sepi bahkan libur. Semua waktu dalam bulan Ramadhan dutujukan untuk beribadah. Sedangkan Syaikh Muda Waly berada di Tanah suci bukan dalam bulan Ramadhan .

Kepulanngan Syaikh Muda Waly dari tanah suci mendapat sambutan dari murid-murid beliau serta dari Ulama-ulama Minangkabau lainnya seperti Syaikh `Ali Khatib, Syaikh Sulaiman Ar Rasuli, Buya Syaikh Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan, dengan kembalinya Syaikh Muda Waly maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal Jamaah di padang khususnya. Dikalangan Ulama tersebut, Syaikh Muda Waly merupakan yang termuda diantar mereka, sehingga dalam perdebatan-perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syaikh Muda Waly lebih didahulukan oleh Ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi Ulama dari kaum muda .Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda) menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama dari kedua belah pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.

Walaupun Syaikh Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, namun ada hal yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu menenangkan batin beliau, akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki jalan Tasauf sebagaiman yang telan ditempuh oleh ulama- ulama sebelumnya. Apabila ar-Raniri di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah dan Syaikh Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku Syiah Kuala mengambil tariqah Syatariyah maka Syaikh Muda Waly memilih Thariqat Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu. Beliau berguru kepada seorang Ulama besar Tariqah di Sumatera Barat kala itu yaitu Syaikh Abdul Ghaniy al-Kamfary bertempat di Batu Bersurat, Kampar, Bangkinang. Beliau bersuluk disana selama 40 hari lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadhah dan munajat berupa mengamalkan zikir-zikir sebagaimana atas petunjuk Syaikh Abdul Ghany, beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjalan untuk mandi dan berwudhuk.

Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini. Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syaikh Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan Thariqah Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah Thariqah beliau kembali ke Kota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa surau dan asrama. Banyak murid yang mengambil ilmu di Pesantren tersebut bahkan juga santri-santri dari Aceh. Tetapi pada saat Jepang masuk ke Padang, Syaikh Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang lumpuh.
Bersambung...

Kamis, 14 Juli 2011

Teungku Muhammad Daud Beureueh ( 15 September 1899 - 10 Juni1987 )

Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar Aceh. Bersama ulama lain pada zamannya, beliau berjuang mengibarkan dan menegakkan panji-panji Islam di bumi Aceh. Sebagaimana yang pernah dituturkannya kepada Boyd R. Compton dalam sebuah wawancara, "Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi Negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam. Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu". (Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995)

Teungku Muhammad Daud Beureueh

Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.

Orang tuanya memberi nama Muhammad Daud (dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab Alquran dan Zabur). Dari penamaan ini sudah terlihat, sesungguhnya yang diinginkan orang tuanya adalah bila besar nanti ia mampu mengganti posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela Islam. Karena itu, pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment Indlandsche School, atau HIS. Namun lebih mempercayakan kepada lembaga pendidikan yang telah lama dibangun ketika masa kerajaan Islam dahulu semodel dayah/zawiyah. Yang menjiwai ayahnya adalah semangat anti-Belanda/penjajah yang masih sangat kuat. Apalagi ketika itu Aceh masih dalam suasana perang di mana gema Hikayat Perang Sabil masih nyaring di telinga masyarakat Aceh.

Dalam pusat pendidikan semacam ini, Daud ditempa dan dididik dalam mempelajari tulis-baca huruf Arab, pengetahuan agama Islam (seperti fikih, hadis, tafsir, tasawuf, mantik, dsb), pengetahuan tentang sejarah Islam, termasuk sejarah tatanegara dalam dunia Islam di masa lalu, serta ilmu-ilmu lainnya. Dari latar belakang pendidikan yang diperolehnya ini, tidak disangsikan lagi, merupakan modal bagi keulamaannya kelak.

Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan kecepatannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaannya mengkonsumsi ikan, yang merupakan kebiasaan masyarakat Aceh, telah membuatnya menjadi quick-learner (mampu belajar cepat).

Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan "mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai. Kendatipun pihak lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.
Dari PUSA Menuju Darul Islam

Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman, dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik ulama berarti juga secara de facto menjadi "Bapak Orang-Orang Aceh".

Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut catatan Compton, "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Dekat. Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."

Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang sebagai "Bapak Darul Islam".

Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya --tampaknya seperti pensiun.

Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud Beureueh melakukan tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif bernada mendukung ide Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan --membuat takjub penduduk Medan yang sudah maju-- membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.

Teungku Daud Beureueh adalah "Bapak Orang-Orang Aceh" yang tetap tegar meski dikecewakan oleh kaum fasiqun di Jakarta. Dengan postur tubuhnya yang kurus tapi kuat, ia adalah tipe manusia ideal. Sebagaimana dicatat oleh Compton, dari bawah pecinya, rambut kelabunya yang dipangkas pendek kontras dengan wajahnya yang muda dan coklat kemerahan. Bicaranya lugas, bahkan pernyataannya banyak yang blak-blakan. Misal: "Saya tanya, apakah pemerintahan seperti itu mampu mengatasi masalah-masalah Aceh sekarang ini? Ya, ambillah pengairan sebagai contoh. Pada zaman Iskandar Muda, dibuat saluran dari sungai yang jauhnya sebelas kilometer dari sini menuju laut. Daerah Pidie menjadi sangat makmur. Dibuat pula saluran lain tak jauh dari yang pertama, keduanya dikerjakan oleh ulama. Beda dengan ulama zaman sekarang, pemimpin-pemimpin di masa itu tak takut sarung mereka kena lumpur. Sekarang saluran-saluran itu sudah rusak, dan hasil panen padi merosot. Sebelum terjadi perang, Aceh biasa mengekspor beras untuk kebutuhan seluruh wilayah Mardhatillah Sumatera Timur. Sekarang kita mengimpor beras dari Burma".

Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang sejahtera di bawah pimpinan kelompok ulama yang ditampilkan kembali. Di masa keemasan itu, hanya orang-orang yang benar-benar berpengetahuan yang dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern ini, hampir setiap orang dengan bermodalkan "taplak meja dililitkan di leher" bisa mengaku berhak untuk disebut ulama.

Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan. Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan janji-janji Soekarno akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati, maka jiwa jihad Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai "Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di gunung-gemunung Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal hebat di mata orang-orang Aceh, namun karena penipuannya terhadap orang Aceh, nama Soekarno identik dengan berhala yang harus ditumbangkan.

Compton bisa memahami mengapa orang-orang membandingkan Daud Beureueh dengan Soekarno yang cemerlang sebagai orator massa. Seandainya keduanya berpidato di sebuah acara yang sama, konon Soekarno akan menjadi juara kedua jika pendengarnya orang Aceh, terutama kalau sang "Singa Aceh" sudah mulai gusar dan marah.

Sementara ia terus bicara tentang pemerintahan Islam di Aceh, Compton merasa bahwa aneka kasak-kusuk yang ia bawa dari Medan menjelang Pemilu 1955 telah sangat menyesatkannya. Ketika Compton menanyakan apakah sikap ini tak mengandung semacam kontradiksi, Teungku Daud Beureueh menandaskan, sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia harus tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin partai-partai Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.

Daud Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum komunis yang menginginkan negara Marxis-ateistik, umat Islam yang menghendaki Negara Islam, dan golongan nasionalis tertentu yang mau menghidupkan kembali Hinduisme-Jawa (Negara Pancasila). Ia cemas bahwa golongan Hindu dan Marxis sedang mengakar, tapi mereka sendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah. Karena alasan ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan untuk menunda-nunda pelaksanaan pemilu. Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan Pemilu, namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang merupakan output dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada perjuangan fisik. Islam telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.

Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta --buta yang disengaja oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi pemakaman yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah terkontaminasi oleh ide-ide sekuler. R William Liddle yang sempat menghadiri upacara pemakaman Teungku Daud Beureueh menggambarkan bagaimana mengenaskannya saat-saat terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di paruh kedua abad keduapuluh. "Saya hadir di situ, antara lain, sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk mengamati sebuah kejadian yang bersejarah, yang mungkin akan melambangkan sesuatu yang lebih besar dan penting dari upacara pemakaman biasa. Namun, --menurut penglihatan Liddle sebagai pengamat asing-- dalam kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah "meninggalnya seorang suami dan ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan seorang pemimpin masyarakat sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan memang inilah kesimpulan Liddle waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya "Bapak Orang-Orang Aceh", maka Aceh kemudian memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang gempita di mana kemaksiatan dan sekulerisme adalah agama baru yang disambut kalangan terpelajar perkotaannya secara sangat antusias.

Al Chaidar

Copyright� Suara Hidayatullah, 1999

Sumber : Media Isnet

Daud Beureueh : Ulasan Percakapan Soekarno Presiden RI Dengan Tokoh Aceh Daud Beureueh

Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.



Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan �Kakanda (kakak)� dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :

auh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan �Kakanda (kakak)� dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah :

Presiden Soekarno : �Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.�

Daud Beureueh : �Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.�

Presiden Soekarno : �Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.�

Daud Beureueh : �Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.�

Presiden Soekarno : �Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.�

Daud Beureueh : �Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.�

Presiden Soekarno : �Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.�

Daud Beureueh : �Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.�

Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,

Soekarno berkata, : �Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.� Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, �Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.�

Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno mengucap janji dan bersumpah,

Bung Karno bersumpah : �Waallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Waallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?�

Daud Beureueh menjawab, : �Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.�

Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.

Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Acehbersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.

Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telahmenjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannyaatas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.

Mohammad Said, Pengarang Buku "Aceh Sepanjang Abad Jilid Ke Dua"

Sumber : Firdy Atjeh

Daud Beureueh : Balada Tangis Iba Soekarno Awal Mula Petaka Di Bumi Aceh

�Waallah Billah..., Atjeh nanti akan saya beri hak untuk menjusun rumah tangganja sendiri sesuai Syari�at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakjat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syari�at Islam. Apakah Kakak masih ragu...??�

Kata-kata di atas diucapkan oleh Soekarno sambil terisak di bahu seseorang yang ia panggil Kakak. Sang kakak, tidak lain adalah Daud Beureueh. Akhirnya, berbekal iba dan isak tangis, Soekarno berhasil meluluhkan hati sang Abu Jihad, demikian panggilan Daud Beureueh. Soekarno mengucapkan janjinya untuk meyakinkan Daud Beureueh, bahwa jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, Syari�at Islam akan diterapkan di tanah Rencong ini. Maka urung niat Daud Beureu�eh meminta perjanjian hitam di atas putih.

Tapi ternyata janji tinggal janji, Belum kering bibir Soekarno berjanji, Ia menghianati janji yang di ucapkannya sendiri. Dan penerapan Syariat Islam di Aceh pun tinggal mimpi. Air mata yang diteteskan Soekarno ternyata hanya pelengkap sandiwara. Deraian Air Mata Bung Karno ternyata adalah titik awal mula penderitaan Rakyat Pemodal Kemerdekaan Bangsa ini.

Dialah Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, Lahir 17 September 1899, dengan nama asli Muhammad Daud di sebuah dusun kecil bernamaBeureu�eh di Aceh Pidie. Nama dusun itulah yang kelak yang lebih dikenal sebagai namanya. la bukan dari kalangan bangsawan Aceh yang bergelar Teuku, ia seorang rakyat biasanya saja. Gelar Teungku di depan namanya menandakan ia termasuk salah seorang yang diperhitungkan sebagai ulama di masyarakat sekitarnya. Selain Abu Jihad, orang-orang di sekitarnya biasa memangilnya dengan sebutan Abu Daud atau Abu Beureueh. Dialah sosok yang menjdi cikal bakal semua gerakan Kemederkaan Aceh.

Pada zamannya, Daud Beureueh dikenal sebagai seorang ulama yang tegas dan keras pendiriannya. la tak segan-segan menjatuhkan vonis haram atau kafir bagi setiap orang yang telah melanggar aturan agama. Menurut beberapa catatan dan keterangan orang-orang yang dekat dengan Abu Daud, ia termasuk salah seorang yang buta huruf (tapi akhimya ia bisa juga baca dan tulis huruf latin). Ia hanya bisa membaca aksara Arab. Tapi jangan ditanya soal kemampuannya dalam masalah agama dan siasat perang.



Pendidikan yang ia jalani adalah pendidikan dari beberapa pesantren di daerahnya. Beberapa pesantren yang pernah menempa tokoh yang satu ini adalah Pesantren Titeue dan Pesantren Leumbeue. Kedua pesantren itu terkenal sebagai �pabrik� yang melahirkan pribadi-pribadi dengan militansi tinggi di Bumi Serambi Makkah.

Abu Daud terkenal sebagai orator dan seorang yang pemurah hati. Kepeduliannya pada pendidikan rakyat Aceh pun sangat tinggi. Kepedulian pada pendidikan itu pula yang membuatnya pada tahun 1930 mendirikan Madrasah Sa�adah Adabiyah, di Sigli.

Sembilan tahun kemudian, bersama seorang sahabatnya, Daud Beureuehmendirikan sebuah organisasi sebagai wadah para ulama Aceh. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), begitu ia memberi nama organisasi tersebut. PUSA inilah yang kelak menjadi motor perjuangan melawan penjajah Belanda.

Selain itu, PUSA didirikan untuk mempersatukan visi para ulama Aceh terhadap syariat Islam dan memperbaiki program-program sekolah agama di Aceh. Meski pada awalnya didirikan dengan latar keagamaan, tak urung PUSA akhirnya dimusuhi Belanda. Itu semua karena gerakan PUSA berhasil mencerdaskan rakyat Aceh dan menanamkan semangat jihad yang tinggi untuk melawan penjajah. Hal ini menjadikannya sebagai tokoh PUSA yang paling diincar oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengejaran yang dilakukan Belanda itulah yang membuat PUSA menjadi gerakan bawah tanah.

Kabar kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta, terlambat sampai di Aceh. Kabar merdeka baru diterima pada 15 Oktober1945. Mendengar kemerdekaan yang sudah mutlak, semangat perjuangan Abu Daud kian meledak. �Aceh juga harus merdeka,� pekiknya membangkitkan semangat mengusir Belanda yang berada di Aceh. Segera ia serukan lewat seluruh ulama di Aceh agar rakyat Aceh mendukung Soekarno. Namun seperti tertulis di atas, air susu dibalas air tuba.

Selain dukungan untuk Soekarno, masih banyak lagi sumbangsih rakyat Aceh yang nota bene salah satu hasil perjuangan Daud Beureueh. Sumbangsih tanda kasih pada Rl itu antara lain adalah saat ibukota Rl masih di Yogyakarta. Ketika kota itu diduduki dan Soekarna-Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer II, tanpa dikomando, rakyat Aceh membangun dua pemancar radio untuk berkomunikasi dengan dunia luar yang terputus akibat aksi itu.

Begitu juga saat PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittingi dipindahkan ke Bireuen. Rakyat Aceh menanggung seluruh biaya �akomodasi� pemerintahan darurat. Daftar sumbangsih rakyat Aceh untuk Rl akan semakin panjang jika kita masih mau mencari. Sebut saja cikal bakal penerbangan Indonesia. Rakyat Aceh-lah yang memulai dengan pesawat terbang Seulawah I dan II yang disumbangkan untuk Rl. Namun, tuntutan untuk hidup di bawah Syariat Islam belum juga terwujud. Bahkan rakyat Aceh cenderung menjadi �anak tiri� Rl, ketika Soekarno membubarkan Provinsi Aceh dan melebumya menjadi bagian dari Sumatera Utara.

Tentu saja hal itu menimbulkan kemarahan Rakyat Aceh. Daud Beureuehyang menjadi gubernur pertama Aceh, berkata lantang di atas mimbar, �Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, kita pergi kegunung untuk membangun negara dengan cara kita sendiri.�



Puncaknya pada 21 September 1953, ia memimpin dan memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hal itu tidak lebih dari respon atas penindasan dan kekecewaan yang telah menggunung pada pemerintah Rl, lebih-lebih pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Untuk meredakan aksi tersebut, pemerintah mengirim M. Natsir ke Aceh, dengan disepakatinya tuntutan rakyat Aceh dan diberikannya otonomi untuk Aceh. Namun masa tenang itu tak berlangsung lama. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan pada anggota DI/TII terus berlanjut karena isu-isu rapat rahasia antaraDaud Beureueh dengan Kartosoewiryo.

Banyak orang menyebut Daud Beureueh sebagai Pemberontak. Pemberontakkah ia, jika setelah sekian lama memberikan baktinya teradap negara tapi malah dera derita untuk Aceh yang diterimanya�??

Sumber : Atjeh Cyber Warrior
 
Powered By Blogger

Logo